Nama
: La irawan
Nim :2010 – 63 - 045
Prody
: MSP
EKOSISTEM MANGROVE
Ekosistem
hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks
karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan
habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya
termasuk tanah perkembangan muda (saline
young soil) yang mempunyai
kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar
kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium
termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian
arah daratan (Kusmana, 1994). karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang
terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya.
Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti
sediakala.
Penelitian tentang gugur daun telah cukup banyak dilakukan. Hasil pengamatan produksi serasah di Talidendang Besar, Sumatera Timur oleh Kusmana et al. (1995) menunjukkan bahwa jenis Bruguierra parviflora sebesar 1.267 g/m2/th, B. sexangula 1.269 g/m2/th, dan 1.096 g/m2/th untuk komunitas B. sexangula-Nypa fruticans. Pengamatan Khairijon (1999) di hutan mangrove Pangkalan Batang, Bengkalis, Riau, menghasilkan 5,87 g/0,25m2/minggu daun dan ranting R. mucronata atau setara dengan 1.221 g/m2/th dan 2,30 g/0,25m2/minggu daun dan ranting Avicennia marina atau setara dengan 478,4 g/m2/th, dan cenderung membesar ke arah garis pantai. Hasil pengamatan Halidah (2000) di Sinjai, Sulawesi Selatan menginformasi-kan adanya perbedaan produksi serasah berdasar usia tanamannya. R. mucronata 8 tahun (12,75 ton/ha/th), kemudian 10 tahun (11,68 ton/ha/th), dan 9 tahun (10,09 ton/ha/th), dengan laju pelapukan 74 %/60 hr (tegakan 8 th); 96%/60 hr (tegakan 9 th), dan 96,5%/60 hr (tegakan 10 th). Hasil pengamatan di luar pun memperoleh data produksi berkisar antara 5-17 ton daun kering/ha/th (Bunt, 1978; Sasekumar dan Loi, 1983; Boonruang, 1984; dan Leach dan Burkin, 1985). Sukardjo (1995) menambahkan hasil pengamatan guguran serasahnya sebesar 13,08 ton/ha/th, yang setara dengan penyumbangan 2 kg P/ha/th dan 148 kg N/ha/th. Nilai ini sangat berarti bagi sumbangan unsur hara bagi flora dan fauna yang hidup di derah tersebut maupun kaitannya dengan perputaran hara dalam ekosistem mangrove.
Komposisi
flora yang terdapat pada ekosistem mangrove ditentukan oleh beberapa factor
penting seperti kondisi jenis tanah dan genangan pasang surut. Di pantai
terbuka pohon perintis (pionir). Umumnya adalah api-api (Avicennia) dan pedada
(Sonneratia). Api-api cenderung hidup pada tanah yang berlumpur lembut. Pada
tempat yang terlindung dari hempasan ombak komunitas mangrove terutama
Biunnguli oleh bakau Rhizopora mucronata atau Rhizopora apiculata lebih kea rah
daratan pada tanah lempung yang agak pejal dapat ditemukan komunitas (Bruguiera
gymnorhiza). Sejenis paku laut (Acrostichium aureum) dari jeruju ( Acanthus
ilucifolius) seringkali dapat ditemukan di daerah pinggiran pohon-pohon
mangrove sebagai tumbuhan bawah. Nipa (Nypa fruticans) merupakan jenis
palma yang juga merupakan komponen mangrove yang acapkali ditemui di tepi
sungai ke hulu (Nontji, 1987).
Dalam
komponen ini jarang bditemukan spesies yang tumbuh di dalam komunitas mangrove
yang sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan di dalam tumbuh-tumbuhan darat.
Sejak daerah mangrove merupakan suatu lingkungan hidup yang bersifat darat
(semi terrestrial)dan setengah laut (semi marine) meraka dapat dihuni oleh
bermacam-macam fauna. Hewan-hewan darat termasuk serangga seperti fire flies
(sejenis kumbang cahaya), kera pemakan daun-daunan yang suka hidup dinaungan
pohon-pohin, udara dan golongan binatang melata lainnya (Hutabarat, 1985).
Secara
umum komunitas hutan, termasuk hutan mangrove memiliki karakteristik fisiognomi
yaitu dinamakan sesuai dengan jenis yang dominan berada di suatu kawasan.
Misalnya di suatu kawasan hutan mangrove yang dominan adalah jenis Rhizophora
sp maka hutan tersebut dinamakan hutan mangrove Rhizophora.
Secara lebih luas dalam mendefinisikan
hutan mangrove sebaiknya memperhatikan keberadaan lingkungannya termasuk
sumberdaya yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut maka Saenger et al. 1983
mendefinisikan sumberdaya mangrove sebagai :
- Exclusive mangrove, yaitu satu atau lebih jenis pohon atau semak belukar yang hanya tumbuh di habitat mangrove
- Non exclusive mangrove, yaitu setiap jenis tumbuhan yang tumbuh di habitat mangrove, dan keberadaannya tidak terbatas pada habitat mangrove saja
- Biota, yaitu semua jenis biota yang berasosiasi dengan habitat mangrove
- Proses (abrasi, sedimentasi), yaitu setiap proses yang berperan penting dalam menjaga atau memelihara keberadaan ekosistem mangrove. Keanekaragaman jenis ekosistem mangrove di Indonesia cukup tinggi
jika dibandingkan dengan negara
lain di dunia. Jumlah jenis mangrove di Indonesia mencapai 89 yang terdiri dari
35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit,
dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987). Dari 35 jenis pohon tersebut, yang umum
dijumpai di pesisir pantai adalah Avicennia sp,Sonneratia sp, Rizophora sp,
Bruguiera sp, Xylocarpus sp, Ceriops sp, dan Excocaria sp.
Vegetasi
Inti
Jenis ini membentuk hutan
mangrove di daerah zona intertidal yang mampu bertahan terhadap pengaruh
salinitas (garam), yang disebut tumbuhan halophyta. Kebanyakan jenis mangrove
mempunyai adaptasi khusus yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang dalam
substrat/lahan mangrove seperti kemampuan berkembang biak, toleransi terhadap
kadar garam tinggi, kemampuan bertahan terhadap perendaman oleh pasang surut,
memiliki pneumatophore atau akar napas, bersifat sukulentis dan kelenjar yang
mengeluarkan garam. Lima jenis mangrove paling utama adalah Rhizophora mangle.
L., R. harrisonii leechman (Rhizoporaceae), Pelliciera rhizophorae triana dan Planchon
(pelliceriaceae), Avicennia germinans L ( Avicenniaceae) dan Laguncularia
racemosa L. gaertn. (Combretaceae).
Vegetasi
marginal
Jenis ini biasanya dihubungkan
dengan mangrove yang berada di darat, di rawa musiman, pantai dan/atau habitat
mangrove marginal. Meskipun demikian vegetasi ini tetap tergolong mangrove.
Jenis Conocarpus erecta (combretaceae) tidak ditemukan di dalam vegetasi
mangrove biasa. Mora oleifera (triana), Duke (leguminosae) jumlahnya
berlimpah-limpah di selatan pantai pasifik, terutama di semenanjung de osa,
dimana mangrove ini berkembang dalam rawa musiman salin (25 promil). Jenis yang
lain adalah Annona glabra L. (Annonaceae), Pterocarpus officinalis
jacq. (Leguminosae), Hibiscus tiliaceus L. dan Pavonia spicata
killip (Malvaceae). Jenis pakis-pakisan seperti Acrostichum aureum L.
(Polipodiaceae) adalah yang sangat luas penyebarannya di dalam zone air payau
dan merupakan suatu ancaman terhadap semaian bibit untuk regenerasi.
Vegetasi
fakultatif marginal
Carapa guianensis (Meliaceae) tumbuh
berkembang di daerah dengan kadar garam sekitar 10 promil. Jenis lain adalah
Elaeis oleifera dan Raphia taedigera. Di daerah zone inter-terrestrial dimana
pengaruh iklim khatulistiwa semakin terasa banyak ditumbuhi oleh Melaleuca
leucadendron rawa ( e.g. selatan Vietnam). Jenis ini banyak digunakan untuk
pembangunan oleh manusia. Lugo dan Snedaker (1974) mengidentifkasi dan
menggolongkan mangrove menurut enam jenis kelompok (komunitas) berdasar pada
bentuk hutan, proses geologi dan hidrologi. Masing-Masing jenis memiliki
karakteristik satuan lingkungan seperti jenis lahan dan kedalaman, kisaran
kadar garam tanah/lahan, dan frekuensi penggenangan. Masing-masing kelompok
mempunyai karakteristik yang sama dalam hal produksi primer, dekomposisi serasah
dan ekspor karbon dengan perbedaan dalam tingkat daur ulang nutrien, dan
komponen penyusun kelompok.
Jenis-jenis tumbuhan mangrove ini
bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik, sehingga
memunculkan zona-zona vegetasi tertentu dan zonasi dari setiap daerah memiliki
pola yang berbeda-beda tergantung dari keadaan fisiografi daerah pesisir dan
dinamika pasang surutnya. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah:
Jenis tanah, terpaan ombak, salinitas dan penggenangan oleh air pasang. Menghadapi
variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami akan terbentuk
zonasi vegetasi mangrove. Berikut ini adalah sebaran jenis mangrove berdasarkan
zonasi:
1. Daerah yang paling
dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh
Avicenia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia sp yang dominan tumbuh
pada lumpur kaya bahan organik.
2. Lebih ke arah
darat, hutan mangrove umumnya di dominasi oleh Rhizophora sp. Di zona ini juga
dijumpai Bruguiera sp dan Xylocarpus sp.
3. Zonasi berikutnya,
didominasi oleh Bruguiera sp.
4. Zonasi transisi
antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasanya ditumbuhi oleh Nypa
proficans dan beberapa palem lainnya (Bengen, 2004).
Pola Zonasi yang
Terbentuk Secara Umum diketahui bahwa zonasi yang terbentuk memiliki beberapa
model yang berbeda pada setiap lokasi di setiap daerah. Sebagaimana Nyabakken:
1992 menyatakan bahwa “Tidak ada model yang berlaku secara universal”. Skema
umum zonasi mangrove untuk penggunaan secara luas pada daerah Indo-Pasifik
dapat digunakan, namun skema yang berlaku di suatu tempat dapat berbeda dengan
tempat yang lainnya. Pembentukan zonasi hutan mangrove yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor lingkungan kemudian akan membentuk penyebaran jenis mangrove yang
secara dominan menguasai masing-masing habitat zonasinya.“Vegeteasi hutan
mangrove di hampir setiap daerah mengalami penurunan kualitas maupun kuantitas
disebabkan adanya eksploitasi oleh masyarakat yang apabila tidak terkendali
maka hutan mangrove di daerah tersebut akan mengalami kerusakan” (Jamili,
1998). Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan
bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan (Anonim, 2006).
Pentingnya analisis vegetasi dalam suatu habitat
Ekosistem mangrove hanya didapati di daerah tropik dan sub-tropik. Ekosistem mangrove dapat berkembang dengan baik pada lingkungan dengan ciri-ciri ekologik sebagai berikut:
(a). Jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir dengan bahan-bahan yang berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang;
(b). Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan ini akan menentukan komposisi vegetasi ekosistem mangrove itu sendiri;
(c). Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur hara dan lumpur;
(d). Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5ºC dan suhu rata-rata di bulan terdingin lebih dari 20ºC;
(e). Airnya payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas mencapai 38 ppt;
(f). Arus laut tidak terlalu deras;
(g). Tempat-tempat yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak yang kuat;
(h). Topografi pantai yang datar/landai.
Habitat dengan ciri-ciri ekologik tersebut umumnya dapat ditemukan di daerah-daerah pantai yang dangkal, muara-muara sungai dan pulau-pulau yang terletak pada teluk.
Fungsi Dan Kerusakan Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang tinggi produktivitasnya (Snedaker, 1978) yang memberikan kontribusi terhadap produktivitas ekosistem pesisi (Harger, 1982). Dalam hal ini beberapa fungsi ekosistem mangrove adalah sebagai berikut:
(a). Ekosistem mangrove sebagai tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), tempat berkembang biak berbagai jenis krustasea, ikan, burung biawak, ular, serta sebagai tempat tumpangan tumbuhan epifit dan parasit seperti anggrek, paku pakis dan tumbuhan semut, dan berbagai hidupan lainnya;
(b). Ekosistem mangrove sebagai penghalang terhadap erosi pantai, tiupan angin kencang dan gempuran ombak yang kuat serta pencegahan intrusi air laut;
(c). Ekosistem mangrove dapat membantu kesuburan tanah, sehingga segala macam biota perairan dapat tumbuh dengan subur sebagai makanan alami ikan dan binatang laut lainnya;
(d). Ekosistem mangrove dapat membantu perluasan daratan ke laut dan pengolahan limbah organik;
(e). Ekosistem mangrove dapat dimanfaatkan bagi tujuan budidaya ikan, udang dan kepiting mangrove dalam keramba dan budidaya tiram karena adanya aliran sungai atau perairan yang melalui ekosistem mangrove;
(f). Ekosistem mangrove sebagai penghasil kayu dan non kayu;
(g). Ekosistem mangrove berpotensi untuk fungsi pendidikan dan rekreasi .
Secara umum, ekosistem mangrove mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan yang rendah. Di Indonesia tercatat 120 jenis tumbuhan mangrove dan 90 jenis di antaranya ditemukan di Jawa. Keanekaragaman faunanya untuk Pulau Jawa informasinya masih terpisah-pisah. Balen (1988) mencatat 167 jenis burung terestrial di ekosistem mangrove Pulau Jawa; di Cagar Alam Muara Angke ditemukan 43 jenis burung (Atmawidjaja & Romimohtarto, 1999), di ekosistem mangrove Teluk Naga ternyata 23 jenis burung air yang memilih daerah tersebut sebagai tempat mencari pakan (Widodo & Hadi, 1990), di ekosistem mangrove delta sungai Cimanuk, menurut Mustari (1992) tercatat 28 jenis burung air (12 jenis burung wader migran dan 11 jenis di antaranya termasuk jenis burung yang dilindungi), di kawasan pantai timur Surabaya dengan luas 3.200 hektar, menurut Anonymous (1998) ekosistem mangrove yang ada mampu mengakumulasi logam berat pencemar dan sebagai tempat persinggahan 54 jenis burung air dan burung migran; di ekosistem mangrove Tanjung Karawang ditemukan 52 jenis burung (Sajudin et al., 1984), 3 jenis tikus (Munif et al., 1984), 7 jenis moluska, 14 jenis krustasea (Hakim et al., 1984), dan 9 jenis nyamuk (Rusmiarto et al., 1984); di daerah mangrove Pulau Pari tercatat 24 jenis ikan (Hutomo & Djamali, 1979) dan 28 jenis krustasea (Toro, 1979), di pantai barat Pulau Handeleum ditemukan 12 jenis Gastropoda mangrove dan 20 jenis di pantai utara Pulau Penjaliran (Yasman, 1999); di Pulau Dua, Pulau Rambut dan Tanjung Karawang ditemukan 6 jenis ular (Supriatna, 1984).
Contoh aliran energi dan rantai makanan pada ekosistem mangrove :
ALIRAN MATERI PADA EKOSISTEM MANGROVE
Materi anorganik yang masuk ke lingkungan
mangrove akan dimanfaatkan oleh produsen dalam hal ini adalah tumbuhan mangrove
untuk kebutuhan fotosintesis. Nutrien tersebut berupa Karbon organik,
Nitrogen, dan Posfat dan bentuk nutrien yang lainnya.
Mangrove
akan menghasilkan serasah berupa bunga, ranting dan daun mangrove yang jatuh ke
perairan sebagian akan tenggelam atau terapung di perairan tersebut dan sebagian
lagi akan terbawa oleh arus laut ke daerah lain. Serasah yang dihasilkan oleh
pohon-pohon mangrove merupakan landasan penting bagi produksi ikan di muara
sungai dan daerah pantai.
Zat organik
yang berasal dari penguraian serasah hutan mangrove ikut menentukan kehidupan
ikan dan invertebrata di sekitarnya dalam rantai makanan.
RANTAI MAKANAN PADA EKOSISTEM
MANGROVE
Mata rantai
makanan yang terdapat pada ekosistem mangrove ini tidak terputus. Pada dasarnya
rantai makanan pada ekosistem mangrove ini terbagi atas dua jenis yaitu rantai
makanan secara langsung dan rantai makanan secara tidak langsung ( rantai
detritus ).
1. Rantai
Makanan Langsung
Pada rantai
makanan langsung yang bertindak sebagai produsen adalah tumbuhan mangrove.
Tumbuhan mangrove ini akan menghasilkan serasah yang berbentuk daun, ranting,
dan bunga yang jatuh ke perairan. Selanjutnya sebagai konsumen tingkat satu
adalah ikan-ikan kecil dan udang yang langsung memakan serasah mangrove yang
jatuh tersebut. Untuk konsumen tingkat dua adalah organisme karnivora
yang memakan ikan-ikan kecil dan udang tersebut. Selanjutnya untuk konsumen
tingkat tiga terdiri atas ikan-ikan besar maupun burung – burung pemakan ikan.
Pada akhirnya konsumen tingkat tiga ini akan mati dan diuraikan oleh detritus
sehingga akan menghasilkan senyawa organic yang bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan
mangrove tersebut.
2. Rantai
Makanan Tidak Langsung / Rantai Detritus
Pada rantai makanan tidak langsung atau
rantai detritus ini melibatkan lebih banyak organisme. Bertindak sebagai
produsen adalah mangrove yang akan menghasilkan serasah yang berbentuk daun,
ranting, dan bunga yang jatuh ke perairan. Selanjutnya serasah ini akan terurai
oleh detrivor / pengurai. Detritus yang mengandung senyawa organic kemudian
akan dimakan oleh Crustacea, bacteria, alga, dan mollusca yang bertindak
sebagai konsumen tingkat satu. Khusus untuk bacteri dan alga akan dimakan
protozoa sebagai konsumen tingkat dua. Protozoa ini kemudian akan dimakan oleh
amphipoda sebagai konsumen tingkat tiga. Lalu, baik crustacea ataupun amphipoda
ini dimakan oleh ikan kecil (Konsumen Tingkat 4) dan kemudian akan dimakan oleh
ikan besar (konsumen 5). Selanjutnya untuk konsumen tingkat enam terdiri atas
ikan-ikan besar maupun burung – burung pemakan ikan dan pada akhirnya konsumen
tingkat enam ini akan mati dan diuraikan oleh detritus sehingga akan
menghasilkan senyawa yang bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove tersebut.
Jenis organism yang berasosiasi
Kelompok hewan arboreal yang hidup di atas daratan
seperti serangga, ular pohon, primata dan burung yang tidak sepanjang hidupnya
berada di habitat mangrove, tidak perlu beradaptasi dengan kondisi pasang
surut. Burung-burung dari daerah daratan menemukan sumber makanan dan habitat
yang baik untuk bertengger dan bersarang. Mereka makan kepiting, ikan dan
moluska atau hewan lain yang hidup dihabitatmangrove.
Kelompok lain yang bukan hewan arboreal adalah hewan-hewan yang hidupnya menempati daerah dengan substrat yang keras (tanah) atau akar mangrove maupun pada substrat yang lunak (lumpur). Kelompok ini antara lain adalah jenis kepiting mangrove, kerang-kerangan dan golongan invertebrata lainnya.
Kelompok lain yang bukan hewan arboreal adalah hewan-hewan yang hidupnya menempati daerah dengan substrat yang keras (tanah) atau akar mangrove maupun pada substrat yang lunak (lumpur). Kelompok ini antara lain adalah jenis kepiting mangrove, kerang-kerangan dan golongan invertebrata lainnya.
Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem
Lainnya
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah
ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut
Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun
demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya.
Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove
merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke
ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi
sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem
terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai sedimen trap sehingga sedimen tersebut tidak
mengganggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat
berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus
laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat, feeding ground, nursery
ground, spawning ground bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun
terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut
juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme
perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau
sebaliknya .
Indeks Nilai Penting (Important Value lndex) = INP
Indeks Nilai Penting( lNP) atau
Impontant Value Index merupakan indeks kepentingan yang menggambarkan
pentingnya peranan suatu jenis vegetasi dalam ekosistemnya. Apabila INP suatu
jenis vegetasi bernilai tinggi, maka jenis itu sangat mempengaruhi kestabilan
ekosistem tersebut(Fachrul,2007).Indeks nilai penting biasa digunakan untuk
menentukan dominansi jenis tumbuhan terhadap jenis tumbuhan lainnya, karena
dalam suatu komunitas yang bersifat heteterogen, data parameter vegetasi dari
nilai frekuensi, kerapatan dan dominansinya tidak dapat menggambarkan komunitas
tumbuhan secara menyeluruh, maka untuk menentukan nilai pentingnya yang
mempunyai kaitan dengan struktur komunitasnya dapat diketahui dari indeks nilai
pentingnya, yaitu suatu indeks yang dihitung berdasarkan jumlah seluruh nilai
frekuensi relatif (FR), kerapatan relatif (KR) dan dominansi relatif (DR).
Nilai penting juga digunakan dalam menginterpretasi komposisi dari suatu
komunitas tumbuhan.
Nilai Penting = FR + KR+ DR
Untuk mengetahui komposisi vegetasi
suatu komunitas mangrove dilakukan dengan cara menentukan nilai pentingnya
sedangkan untuk menentukan pola zonasi hutan mangrove dilakukan dengan cara
menentukan indeks similaritas (indeks kesamaan) dan indeks disimilaritas
(indeks ketidaksamaan) dari suatu jenis vegetasi tumbuhan, dengan maksud
membandingkan pola komunitas dari beberapa stasiun yang diamati untuk
mengetahui perbedaan komunitas diantara stasiun yang diamati. “Makin besar
indeks kesamaan jenis makin seragam komposisi vegetasi dari kedua tipe vegetasi
yang dibandingkan” (Irwanto, 2007).