Senin, 17 September 2018

EKOSISTEM MANGROVE



Nama  : La irawan
       Nim     :2010 – 63 - 045
                                                                      Prody  : MSP


EKOSISTEM  MANGROVE 

Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan (Kusmana, 1994). karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala.

Dahuri et.at., (1996) dalam Rizka (2010) menyatakan, terdapat tiga parameter lingkungan yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu: (1) suplai air tawar dan salinitas, dimana ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas) mengendalikan efisiensi metabolik dari ekosistem hutan mangrove. Ketersediaan air tawar tergantung pada (a) frekuensi dan volume air dari system sungai dan irigasi dari darat, (b) frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut, dan (c) tingkat evaporasi ke atmosfer. (2) Pasokan nutrien: pasokan nutrient bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling terkait, meliputi input dari ion-ion mineral an-organik dan bahan organik serta pendaurulangan nutrien. Secara internal melalui jaringan-jaringan makanan berbasis detritus (detrital food web).

Penelitian tentang gugur daun telah cukup banyak dilakukan. Hasil pengamatan produksi serasah di Talidendang Besar, Sumatera Timur oleh Kusmana et al. (1995) menunjukkan bahwa jenis Bruguierra parviflora sebesar 1.267 g/m2/th, B. sexangula 1.269 g/m2/th, dan 1.096 g/m2/th untuk komunitas B. sexangula-Nypa fruticans. Pengamatan Khairijon (1999) di hutan mangrove Pangkalan Batang, Bengkalis, Riau, menghasilkan 5,87 g/0,25m2/minggu daun dan ranting R. mucronata atau setara dengan 1.221 g/m2/th dan 2,30 g/0,25m2/minggu daun dan ranting Avicennia marina atau setara dengan 478,4 g/m2/th, dan cenderung membesar ke arah garis pantai. Hasil pengamatan Halidah (2000) di Sinjai, Sulawesi Selatan menginformasi-kan adanya perbedaan produksi serasah berdasar usia tanamannya. R. mucronata 8 tahun (12,75 ton/ha/th), kemudian 10 tahun (11,68 ton/ha/th), dan 9 tahun (10,09 ton/ha/th), dengan laju pelapukan 74 %/60 hr (tegakan 8 th); 96%/60 hr (tegakan 9 th), dan 96,5%/60 hr (tegakan 10 th). Hasil pengamatan di luar pun memperoleh data produksi berkisar antara 5-17 ton daun kering/ha/th (Bunt, 1978; Sasekumar dan Loi, 1983; Boonruang, 1984; dan Leach dan Burkin, 1985). Sukardjo (1995) menambahkan hasil pengamatan guguran serasahnya sebesar 13,08 ton/ha/th, yang setara dengan penyumbangan 2 kg P/ha/th dan 148 kg N/ha/th. Nilai ini sangat berarti bagi sumbangan unsur hara bagi flora dan fauna yang hidup di derah tersebut maupun kaitannya dengan perputaran hara dalam ekosistem mangrove.

Komposisi flora yang terdapat pada ekosistem mangrove ditentukan oleh beberapa factor penting seperti kondisi jenis tanah dan genangan pasang surut. Di pantai terbuka pohon perintis (pionir). Umumnya adalah api-api (Avicennia) dan pedada (Sonneratia). Api-api cenderung hidup pada tanah yang berlumpur lembut. Pada tempat yang terlindung dari hempasan ombak komunitas mangrove terutama Biunnguli oleh bakau Rhizopora mucronata atau Rhizopora apiculata lebih kea rah daratan pada tanah lempung yang agak pejal dapat ditemukan komunitas (Bruguiera gymnorhiza). Sejenis paku laut (Acrostichium aureum) dari jeruju ( Acanthus ilucifolius) seringkali dapat ditemukan di daerah pinggiran pohon-pohon mangrove sebagai tumbuhan bawah. Nipa (Nypa  fruticans) merupakan jenis palma yang juga merupakan komponen mangrove yang acapkali ditemui di tepi sungai ke hulu (Nontji, 1987).

Dalam komponen ini jarang bditemukan spesies yang tumbuh di dalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan di dalam tumbuh-tumbuhan darat. Sejak daerah mangrove merupakan suatu lingkungan hidup yang bersifat darat (semi terrestrial)dan setengah laut (semi marine) meraka dapat dihuni oleh bermacam-macam fauna. Hewan-hewan darat termasuk serangga seperti fire flies (sejenis kumbang cahaya), kera pemakan daun-daunan yang suka hidup dinaungan pohon-pohin, udara dan golongan binatang melata lainnya (Hutabarat, 1985).

Secara umum komunitas hutan, termasuk hutan mangrove memiliki karakteristik fisiognomi yaitu dinamakan sesuai dengan jenis yang dominan berada di suatu kawasan. Misalnya di suatu kawasan hutan mangrove yang dominan adalah jenis Rhizophora sp maka hutan tersebut dinamakan hutan mangrove Rhizophora. 
Secara lebih luas dalam mendefinisikan hutan mangrove sebaiknya memperhatikan keberadaan lingkungannya termasuk sumberdaya yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut maka Saenger et al. 1983 mendefinisikan sumberdaya mangrove sebagai :
  1. Exclusive mangrove, yaitu satu atau lebih jenis pohon atau semak belukar yang hanya tumbuh di habitat mangrove
  2. Non exclusive mangrove, yaitu setiap jenis tumbuhan yang tumbuh di habitat mangrove, dan keberadaannya tidak terbatas pada habitat mangrove saja
  3. Biota, yaitu semua jenis biota yang berasosiasi dengan habitat mangrove
  4. Proses (abrasi, sedimentasi), yaitu setiap proses yang berperan penting dalam menjaga atau memelihara keberadaan ekosistem mangrove. Keanekaragaman jenis ekosistem mangrove di Indonesia cukup tinggi
jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Jumlah jenis mangrove di Indonesia mencapai 89 yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987). Dari 35 jenis pohon tersebut, yang umum dijumpai di pesisir pantai adalah Avicennia sp,Sonneratia sp, Rizophora sp, Bruguiera sp, Xylocarpus sp, Ceriops sp, dan Excocaria sp.

Vegetasi Inti

Jenis ini membentuk hutan mangrove di daerah zona intertidal yang mampu bertahan terhadap pengaruh salinitas (garam), yang disebut tumbuhan halophyta. Kebanyakan jenis mangrove mempunyai adaptasi khusus yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang dalam substrat/lahan mangrove seperti kemampuan berkembang biak, toleransi terhadap kadar garam tinggi, kemampuan bertahan terhadap perendaman oleh pasang surut, memiliki pneumatophore atau akar napas, bersifat sukulentis dan kelenjar yang mengeluarkan garam. Lima jenis mangrove paling utama adalah Rhizophora mangle. L., R. harrisonii leechman (Rhizoporaceae), Pelliciera rhizophorae triana dan Planchon (pelliceriaceae), Avicennia germinans L ( Avicenniaceae) dan Laguncularia racemosa L. gaertn. (Combretaceae).

Vegetasi marginal

Jenis ini biasanya dihubungkan dengan mangrove yang berada di darat, di rawa musiman, pantai dan/atau habitat mangrove marginal. Meskipun demikian vegetasi ini tetap tergolong mangrove. Jenis Conocarpus erecta (combretaceae) tidak ditemukan di dalam vegetasi mangrove biasa. Mora oleifera (triana), Duke (leguminosae) jumlahnya berlimpah-limpah di selatan pantai pasifik, terutama di semenanjung de osa, dimana mangrove ini berkembang dalam rawa musiman salin (25 promil). Jenis yang lain adalah Annona glabra L. (Annonaceae), Pterocarpus officinalis jacq. (Leguminosae), Hibiscus tiliaceus L. dan Pavonia spicata killip (Malvaceae). Jenis pakis-pakisan seperti Acrostichum aureum L. (Polipodiaceae) adalah yang sangat luas penyebarannya di dalam zone air payau dan merupakan suatu ancaman terhadap semaian bibit untuk regenerasi.

Vegetasi fakultatif marginal

Carapa guianensis (Meliaceae) tumbuh berkembang di daerah dengan kadar garam sekitar 10 promil. Jenis lain adalah Elaeis oleifera dan Raphia taedigera. Di daerah zone inter-terrestrial dimana pengaruh iklim khatulistiwa semakin terasa banyak ditumbuhi oleh Melaleuca leucadendron rawa ( e.g. selatan Vietnam). Jenis ini banyak digunakan untuk pembangunan oleh manusia.  Lugo dan Snedaker (1974) mengidentifkasi dan menggolongkan mangrove menurut enam jenis kelompok (komunitas) berdasar pada bentuk hutan, proses geologi dan hidrologi.  Masing-Masing jenis memiliki karakteristik satuan lingkungan seperti jenis lahan dan kedalaman, kisaran kadar garam tanah/lahan, dan frekuensi penggenangan. Masing-masing kelompok mempunyai karakteristik yang sama dalam hal produksi primer, dekomposisi serasah dan ekspor karbon dengan perbedaan dalam tingkat daur ulang nutrien, dan komponen penyusun kelompok.

Jenis-jenis tumbuhan mangrove ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu dan zonasi dari setiap daerah memiliki pola yang berbeda-beda tergantung dari keadaan fisiografi daerah pesisir dan dinamika pasang surutnya. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah: Jenis tanah, terpaan ombak, salinitas dan penggenangan oleh air pasang. Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami akan terbentuk zonasi vegetasi mangrove. Berikut ini adalah sebaran jenis mangrove berdasarkan zonasi:
1. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicenia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia sp yang dominan tumbuh pada lumpur kaya bahan organik.
2. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya di dominasi oleh Rhizophora sp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera sp dan Xylocarpus sp.
3. Zonasi berikutnya, didominasi oleh Bruguiera sp.
4. Zonasi transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasanya ditumbuhi oleh Nypa proficans dan beberapa palem lainnya (Bengen, 2004).

Pola Zonasi yang Terbentuk Secara Umum diketahui bahwa zonasi yang terbentuk memiliki beberapa model yang berbeda pada setiap lokasi di setiap daerah. Sebagaimana Nyabakken: 1992 menyatakan bahwa “Tidak ada model yang berlaku secara universal”. Skema umum zonasi mangrove untuk penggunaan secara luas pada daerah Indo-Pasifik dapat digunakan, namun skema yang berlaku di suatu tempat dapat berbeda dengan tempat yang lainnya. Pembentukan zonasi hutan mangrove yang dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan kemudian akan membentuk penyebaran jenis mangrove yang secara dominan menguasai masing-masing habitat zonasinya.“Vegeteasi hutan mangrove di hampir setiap daerah mengalami penurunan kualitas maupun kuantitas disebabkan adanya eksploitasi oleh masyarakat yang apabila tidak terkendali maka hutan mangrove di daerah tersebut akan mengalami kerusakan” (Jamili, 1998). Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan (Anonim, 2006). Pentingnya analisis vegetasi dalam suatu habitat

Ciri dan Karakteristik Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove hanya didapati di daerah tropik dan sub-tropik. Ekosistem mangrove dapat berkembang dengan baik pada lingkungan dengan ciri-ciri ekologik sebagai berikut:

(a). Jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir dengan bahan-bahan yang berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang;
(b). Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan ini akan menentukan komposisi vegetasi ekosistem mangrove itu sendiri;
(c). Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur hara dan lumpur;
(d). Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5ºC dan suhu rata-rata di bulan terdingin lebih dari 20ºC;
(e). Airnya payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas mencapai 38 ppt;
(f). Arus laut tidak terlalu deras;
(g). Tempat-tempat yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak yang kuat;
(h). Topografi pantai yang datar/landai.
Habitat dengan ciri-ciri ekologik tersebut umumnya dapat ditemukan di daerah-daerah pantai yang dangkal, muara-muara sungai dan pulau-pulau yang terletak pada teluk.

Fungsi Dan Kerusakan Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang tinggi produktivitasnya (Snedaker, 1978) yang memberikan kontribusi terhadap produktivitas ekosistem pesisi (Harger, 1982). Dalam hal ini beberapa fungsi ekosistem mangrove adalah sebagai berikut:
(a). Ekosistem mangrove sebagai tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), tempat berkembang biak berbagai jenis krustasea, ikan, burung biawak, ular, serta sebagai tempat tumpangan tumbuhan epifit dan parasit seperti anggrek, paku pakis dan tumbuhan semut, dan berbagai hidupan lainnya;
(b). Ekosistem mangrove sebagai penghalang terhadap erosi pantai, tiupan angin kencang dan gempuran ombak yang kuat serta pencegahan intrusi air laut;
(c). Ekosistem mangrove dapat membantu kesuburan tanah, sehingga segala macam biota perairan dapat tumbuh dengan subur sebagai makanan alami ikan dan binatang laut lainnya;
(d). Ekosistem mangrove dapat membantu perluasan daratan ke laut dan pengolahan limbah organik;
(e). Ekosistem mangrove dapat dimanfaatkan bagi tujuan budidaya ikan, udang dan kepiting mangrove dalam keramba dan budidaya tiram karena adanya aliran sungai atau perairan yang melalui ekosistem mangrove;
(f). Ekosistem mangrove sebagai penghasil kayu dan non kayu;
(g). Ekosistem mangrove berpotensi untuk fungsi pendidikan dan rekreasi .

Secara umum, ekosistem mangrove mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan yang rendah. Di Indonesia tercatat 120 jenis tumbuhan mangrove dan 90 jenis di antaranya ditemukan di Jawa. Keanekaragaman faunanya untuk Pulau Jawa informasinya masih terpisah-pisah. Balen (1988) mencatat 167 jenis burung terestrial di ekosistem mangrove Pulau Jawa; di Cagar Alam Muara Angke ditemukan 43 jenis burung (Atmawidjaja & Romimohtarto, 1999), di ekosistem mangrove Teluk Naga ternyata 23 jenis burung air yang memilih daerah tersebut sebagai tempat mencari pakan (Widodo & Hadi, 1990), di ekosistem mangrove delta sungai Cimanuk, menurut Mustari (1992) tercatat 28 jenis burung air (12 jenis burung wader migran dan 11 jenis di antaranya termasuk jenis burung yang dilindungi), di kawasan pantai timur Surabaya dengan luas 3.200 hektar, menurut Anonymous (1998) ekosistem mangrove yang ada mampu mengakumulasi logam berat pencemar dan sebagai tempat persinggahan 54 jenis burung air dan burung migran; di ekosistem mangrove Tanjung Karawang ditemukan 52 jenis burung (Sajudin et al., 1984), 3 jenis tikus (Munif et al., 1984), 7 jenis moluska, 14 jenis krustasea (Hakim et al., 1984), dan 9 jenis nyamuk (Rusmiarto et al., 1984); di daerah mangrove Pulau Pari tercatat 24 jenis ikan (Hutomo & Djamali, 1979) dan 28 jenis krustasea (Toro, 1979), di pantai barat Pulau Handeleum ditemukan 12 jenis Gastropoda mangrove dan 20 jenis di pantai utara Pulau Penjaliran (Yasman, 1999); di Pulau Dua, Pulau Rambut dan Tanjung Karawang ditemukan 6 jenis ular (Supriatna, 1984).
Contoh aliran energi dan rantai makanan pada ekosistem mangrove :

 


ALIRAN MATERI PADA EKOSISTEM MANGROVE

Materi anorganik yang masuk ke lingkungan mangrove akan dimanfaatkan oleh produsen dalam hal ini adalah tumbuhan mangrove untuk kebutuhan fotosintesis. Nutrien tersebut berupa Karbon organik,  Nitrogen,  dan  Posfat dan bentuk nutrien yang lainnya.
Mangrove akan menghasilkan serasah berupa bunga, ranting dan daun mangrove yang jatuh ke perairan sebagian akan tenggelam atau terapung di perairan tersebut dan sebagian lagi akan terbawa oleh arus laut ke daerah lain. Serasah yang dihasilkan oleh pohon-pohon mangrove merupakan landasan penting bagi produksi ikan di muara sungai dan daerah pantai.
Zat organik yang berasal dari penguraian serasah hutan mangrove ikut menentukan kehidupan ikan dan invertebrata di sekitarnya dalam rantai makanan.

RANTAI MAKANAN PADA EKOSISTEM MANGROVE


Mata rantai makanan yang terdapat pada ekosistem mangrove ini tidak terputus. Pada dasarnya rantai makanan pada ekosistem mangrove ini terbagi atas dua jenis yaitu rantai makanan secara langsung dan rantai makanan secara tidak langsung ( rantai detritus ).



1. Rantai Makanan Langsung
http://hernandhyhidayat.files.wordpress.com/2010/03/rantai-makanan-langsung.jpg?w=500&h=384
Pada rantai makanan langsung yang bertindak sebagai produsen adalah tumbuhan mangrove. Tumbuhan mangrove ini akan menghasilkan serasah yang berbentuk daun, ranting, dan bunga yang jatuh ke perairan. Selanjutnya sebagai konsumen tingkat satu adalah ikan-ikan kecil dan udang yang langsung memakan serasah mangrove yang jatuh tersebut. Untuk konsumen tingkat dua adalah organisme  karnivora yang memakan ikan-ikan kecil dan udang tersebut. Selanjutnya untuk konsumen tingkat tiga terdiri atas ikan-ikan besar maupun burung – burung pemakan ikan. Pada akhirnya konsumen tingkat tiga ini akan mati dan diuraikan oleh detritus sehingga akan menghasilkan senyawa organic yang bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove tersebut.






2. Rantai Makanan Tidak Langsung / Rantai Detritus
http://hernandhyhidayat.files.wordpress.com/2010/03/rantai-makanan-tidak-langsung.jpg?w=500&h=336

Pada rantai makanan tidak langsung atau rantai detritus ini melibatkan lebih banyak organisme. Bertindak sebagai produsen adalah mangrove yang akan menghasilkan serasah yang berbentuk daun, ranting, dan bunga yang jatuh ke perairan. Selanjutnya serasah ini akan terurai oleh detrivor / pengurai. Detritus  yang mengandung senyawa organic kemudian akan dimakan oleh Crustacea, bacteria, alga, dan mollusca yang bertindak sebagai konsumen tingkat satu. Khusus untuk bacteri dan alga akan dimakan protozoa sebagai konsumen tingkat dua. Protozoa ini kemudian akan dimakan oleh amphipoda sebagai konsumen tingkat tiga. Lalu, baik crustacea ataupun amphipoda ini dimakan oleh ikan kecil (Konsumen Tingkat 4) dan kemudian akan dimakan oleh ikan besar (konsumen 5). Selanjutnya untuk konsumen tingkat enam terdiri atas ikan-ikan besar maupun burung – burung pemakan ikan dan pada akhirnya konsumen tingkat enam ini akan mati dan diuraikan oleh detritus sehingga akan menghasilkan senyawa yang bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove tersebut.





Jenis organism yang berasosiasi
Kelompok hewan arboreal yang hidup di atas daratan seperti serangga, ular pohon, primata dan burung yang tidak sepanjang hidupnya berada di habitat mangrove, tidak perlu beradaptasi dengan kondisi pasang surut. Burung-burung dari daerah daratan menemukan sumber makanan dan habitat yang baik untuk bertengger dan bersarang. Mereka makan kepiting, ikan dan moluska atau hewan lain yang hidup dihabitatmangrove.

Kelompok lain yang bukan hewan arboreal adalah hewan-hewan yang hidupnya menempati daerah dengan substrat yang keras (tanah) atau akar mangrove maupun pada substrat yang lunak (lumpur). Kelompok ini antara lain adalah jenis kepiting mangrove, kerang-kerangan dan golongan invertebrata lainnya.
Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai sedimen trap sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat, feeding ground, nursery ground, spawning ground bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya .

Indeks Nilai Penting (Important Value lndex) = INP
Indeks Nilai Penting( lNP) atau Impontant Value Index merupakan indeks kepentingan yang menggambarkan pentingnya peranan suatu jenis vegetasi dalam ekosistemnya. Apabila INP suatu jenis vegetasi bernilai tinggi, maka jenis itu sangat mempengaruhi kestabilan ekosistem tersebut(Fachrul,2007).Indeks nilai penting biasa digunakan untuk menentukan dominansi jenis tumbuhan terhadap jenis tumbuhan lainnya, karena dalam suatu komunitas yang bersifat heteterogen, data parameter vegetasi dari nilai frekuensi, kerapatan dan dominansinya tidak dapat menggambarkan komunitas tumbuhan secara menyeluruh, maka untuk menentukan nilai pentingnya yang mempunyai kaitan dengan struktur komunitasnya dapat diketahui dari indeks nilai pentingnya, yaitu suatu indeks yang dihitung berdasarkan jumlah seluruh nilai frekuensi relatif (FR), kerapatan relatif (KR) dan dominansi relatif (DR). Nilai penting juga digunakan dalam menginterpretasi komposisi dari suatu komunitas tumbuhan.
Nilai Penting = FR + KR+ DR
Untuk mengetahui komposisi vegetasi suatu komunitas mangrove dilakukan dengan cara menentukan nilai pentingnya sedangkan untuk menentukan pola zonasi hutan mangrove dilakukan dengan cara menentukan indeks similaritas (indeks kesamaan) dan indeks disimilaritas (indeks ketidaksamaan) dari suatu jenis vegetasi tumbuhan, dengan maksud membandingkan pola komunitas dari beberapa stasiun yang diamati untuk mengetahui perbedaan komunitas diantara stasiun yang diamati. “Makin besar indeks kesamaan jenis makin seragam komposisi vegetasi dari kedua tipe vegetasi yang dibandingkan” (Irwanto, 2007).