Sabtu, 08 Agustus 2015

Globalisasi dan Dampaknya



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang didunia dibawah Kanada. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara yang memiliki lebih dari 13000 pulau tetapi masih banyak yang belum diberi nama. Anugerah alam yang berupa laut ini seharusnya dapat membuat Indonesia menjadi negara yang kaya dari hasil laut.

           Di zaman globalisasi seperti ini, dimana penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil baik berupa minyak ataupun batu bara banyak digunakan. Penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil ini tentunya memiliki dampak tersendiri seperti emisi gas buang yang berasal dari asap knalpot kendaraan bermotor maupun asap dari cerobong pabrik. Emisi ini terdiri dari bahan-bahan/unsur- unsur yang berbahaya seperti timbal (Pb), karbon diooksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan Sulfur (S). Secara khusus akan dibahas mengenai dampak CO2 terhadap laut di Indonesia. Karbondiooksida atau CO2 merupakan gas efek rumah kaca yang memiliki daya rusak cukup kuat terutama untuk membuat lapisan dari ozon berkurang. Lapisan ozon yang semakin tipis ini membuat sinar ultraviolet dapat dengan mudah tembus ke permukaan bumi. Ini membuat suhu bumi semakin lama semakin meningkat dan menyebabkan gunung-gunung es di kutub mencair akibatnya, terjadi kenaikan permukaan air laut. Kenaikan muka laut sejak 1984 diketahui terutama disebabkan oleh meningkatnya suhu global akibat meningkatnya kadar CO2 dan gas lain di atmosfer. Fenomena naiknya muka laut dipengaruhi secara dominan oleh pemuaian termal sehingga volume air laut bertambah. Perkiraan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan, jika suhu rata-rata permukaan bumi naik 1°-3,5°C pada tahun 2100, permukaan air laut naik antara 15-95 sentimeter. Dengan tingkat kenaikan 1 cm per tahun, pada 2050 kenaikannya mencapai 40 cm.

      Indonesia adalah negara kepulauan dengan mayoritas populasinya tersebar di sekitar wilayah pesisir. Kemungkinan dampak negatif yang dapat dirasakan langsung dari fenomena kenaikan muka laut di antaranya erosi garis pantai, penggenangan wilayah daratan, meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, meningkatnya dampak badai di daerah pesisir, salinisasi lapisan akuifer dan kerusakan ekosistem wilayah pesisir.Meskipun demikian, sampai saat ini karakteristik serta perilaku dari fenomena naiknya muka laut di wilayah regional perairan Indonesia belum dipahami secara baik dan komprehensif. Dengan demikian, perilaku kedudukan muka laut, baik variasi temporal maupun spasialnya, di wilayah Indonesia merupakan salah satu informasi penting yang diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan suatu wilayah secara berkelanjutan. Berdasarkan pemantauan satelit altimetri (Topex/Poseidon ) tersebut, selama 10 tahun di wilayah perairan Indonesia terlihat indikasi kenaikan muka laut dengan magnitude sekitar 8 mm per tahun. Berdasarkan data terakhir dengan satelit Jason, ditemukan bahwa kenaikan rata-rata di Indonesia 5 mm-1 cm per tahun. Tinggi rendahnya kenaikan dipengaruhi topografi dan pola arus laut. Dilihat berdasarkan kawasan, kenaikan muka laut relatif lebih besar di kawasan timur Indonesia. Penelitian yang dilakukan Hasanuddin Z Abidin, Ketua Kelompok Keilmuan Geodesi ITB, menunjukkan terjadinya penurunan sekitar 12 cm per tahun. Hal ini yang akan memperbesar dampak daerah yang terlanda banjir saat musim hujan di daerah pantai Jakarta. Oleh karena akan banyak dampak yang ditimbulkan dari kenaikan muka air laut, maka dari itu kenaikan permukaan air laut ini sedini mungkin harus kita tanggapi dengan serius agar dampak yang ditimbulkan dari kenaikan permukaan air laut ini tidak ‘parah’ dan menyebar ke bagian-bagian yang lainnya.

1.2  Rumusan masalah 

a.       Proses terjadinya naik muka ir laut
b.      Dampak yang di timbulkan dari naiknya muka air laut
c.       Gejala – gejala yang di timbukan dari iklim global
d.      Strategiapayangsesuaiuntukmenanggulangidampakperubahangarispantaisebagaiakibatkenaikanmukaairlaut

1.3  Tujuan
a.       Meganalisa dampak yang terjadi akibat naiknya muka air laut
b.      Upaya untuk mengatasi naiknya muka air laut
c.       Mengetahui perubahan garis pantai yang terjadi di kawasan pesisir indonesia
d.      Membatasi penggunaan emisi – emisi gas bumi









BAB II
PEMBAHASAN

2.1 proses terjadi naiknya massa muka air laut

Kenaikan permukaan laut (Bahasa Inggris: sea level rise) adalah fenomena naiknya permukaan laut yang disebabkan oleh banyak faktor yang kompleks.Permukaan laut telah mengalami kenaikan setinggi 120 meter sejak puncak zaman es 18.000 tahun yang lalu. Kenaikan tertinggi muka air laut terjadi sebelum 6.000 tahun yang lalu. Sejak 3.000 tahun yang lalu hingga awal abad ke-19, muka air laut hampir tetap hanya bertambah 0,1 hingga 0,2 mm/tahun; sejak tahun 1900, permukaan laut naik 1 hingga 3 mm/tahun; sejak tahun 1992 satelit altimetri TOPEX/Poseidon mengindikasikan laju kenaikan muka laut sebesar 3 mm/tahun. Perubahan ini bisa jadi merupakan pertanda awal dari efek pemanasan global terhadap kenaikan muka air laut. Pemanasan global diperkirakan memberikan pengaruh yang signifikan pada kenaikan muka air laut pada abad ke-20 ini.


2.2 Kenaikan Muka Air Laut / Sea Level Rise

Kenaikan muka air laut yang sering disebut dengan sea level rise (SLR) merupakan peningkatan volume air laut yang disebabkan oleh faktor-faktor kompleks. Sea level rise asal mulanya merupakan rangkaian proses pasang surut air laut. Namun, saat ini semakin tingginya muka air laut bukan lagi hanya karena proses dari pasang surut air laut, tetapi juga pengaruh dari perubahan iklim global.


Permukaan laut telah mengalami kenaikan setinggi 120 meter sejak puncak zaman es 18.000 tahun yang lalu. Kenaikan tertinggi muka air laut terjadi sebelum 6.000 tahun yang lalu. Sejak 3.000 tahun yang lalu hingga awal abad ke-19, muka air laut hampir tetap hanya bertambah 0,1 hingga 0,2 mm/tahun, kemudian dari tahun 1900, permukaan laut naik 1 hingga 3 mm/tahun dan tahun 1992 satelit altimetri TOPEX/Poseidon mengindikasikan laju kenaikan muka laut sebesar 3 mm/tahun. Tinggi muka laut diseluruh dunia telah meningkat 10-25 cm selama abad 20. Apabila separuh es di Greenland dan Antartika meleleh maka terjadi kenaikan permukaan air laut di dunia rata-rata setinggi 6-7 meter.

   Muka laut rata-rata lokal (local mean sea level atau disingkat LMSL) didefinisikan sebagai tinggi laut terhadap titik acu (benchmark) di darat, dirata-ratakan terhadap suatu periode waktu tertentu yang cukup panjang, sebulan atau setahun, sehingga fluktuasi akibat gelombang dan pasang surut sebisa mungkin dapat dihilangkan. Kita juga harus menyesuaikan perubahan LMSL yang diketahui untuk memasukkan pergerakan vertikal daratan yang bisa jadi memiliki orde yang sama dengan orde perubahan muka air laut (mm/tahun). Pergerakan daratan terjadi karena penyesuaian isostatik mantel akibat melelehnya lempengan es di akhir zaman es terakhir. Tekanan atmosferik (efek inversi barometrik), arus laut, dan perubahan temperatur air laut setempat semua dapat memengaruhi LMSL.
Gambar : Muka Laut Rerata Perairan Indonesia dari data satelit T/P selama 6 tahun



Gambar : Peta Hilangnya Lahan di Indonesia akibat naiknya massa air laut

Dari gambar diketahui bahwa rata-rata kenaikan muka air laut tertinggi terjadi di wilayah Indonesia bagian timur. Pulau Papua, Sulawesi dan sebagian Kalimantan. Warna hijau menyatakan tinggi kenaikan muka air laut setinggi 5-8 mm/tahun. Sedangkan wilayah Indonesia bagian barat kebanyakan berwarna biru Warna biru mengindikasikan kenaikan muka air laut setinggi 0-4 mm/tahun.

Wilayah yang berwarna merah adalah wilayah yang tertutup oleh air. Tahun 2010 kenaikan muka laut 0,4 m menghilangkan 7,408 km2. Diperkirakan pada tahun 2050 kenaikan muka air lau akan sampai 0,56 m dan menutup permukaan lahan hingga 30,120 km2. Daftar Kenaikan muka air laut kota-kota di Indonesia

Tabel 2 Kenaikan Muka Air Laut di Indonesia (mm/tahun) Lokasi
Kenaikan muka air laut (mm/tahun)
Sumber
Cilacap
1,30
Hadikusuma, 1993
Belawan
7,83
Itb, 1990
Jakarta
4,38
Itb, 1990
Data tahun 1984-2006






2.3 Komponen Sea Level Rise

Perubahan muka air laut lokal pada setiap lokasi pesisir tergantung pada jumlah factor secara global, regional, dan lokal yang selanjutnya disebut sebagai kenaikan muka air laut relatif (Nichollsdan Leatherman, 1996; Nicholls, 2002a). Oleh karena iturata-rata kenaikan muka air laut global tidak diterjemahkan ke dalam kenaikan muka air laut yang seragam di seluruh dunia. Kenaikan muka air laut relative di suatu daerah dapat berubah untuk alas an tertentu dan jangkawaktu tertentu. Selama selang waktu utama pengamatan manusia terhadap kenaikan muka air laut (yaitu sekitar 102 sampai 103 tahun), kenaikan muka air laut relative merupakan penggabungan dari komponen-komponen berikut (Church et al., 2001):

 2.4 Kenaikan muka air laut global

yang merupakan dampak dari peningkatan volume laut. Pada abad 20-21, kenaikan ini terutama disebabkan oleh ekspansi termal dari laut bagian atas, seperti menghangatnya suhu laut dan mencairnya bagian atas dari gunung es karena pemanasan global akibat ulah manusia (Church et al.,2001).

*      Regional Meteo-oceanography factor

seperti variasi pada efek kenaikan suhu, perubahan jangka panjang pada angin dan tekanan atmosfir, serta perubahan pada sirkulasi samudra seperti arus teluk (e.g. Gregory, 1993).

*      Pergerakan tanah secara vertical

(patahan/pergerakan ke atas) yang berkaitan dengan keragaman proses geologi seperti tektonik, neotektonik, glacial-isostatis adjustment (GIA), dan konsolidasi atau penggabungan (Emery dan Aubrey, 1991).

2.5 Dampak yang Ditimbulkan

Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia umumnya ditandai adanya perubahan temperatur rerata harian, pola curah hujan, tinggi muka laut, dan variabilitas iklim (misalnya El Niño dan La Niña, Indian Dipole, dan sebagainya). Perubahan ini memberi dampak serius terhadap berbagai sektor di Indonesia, misalnya kesehatan, pertanian, perekonomian, dan lain-lain.

Beberapa studi institusi, baik dari dalam maupun luar negeri menunjukkan bahwa iklim di Indonesia mengalami perubahan sejak tahun 1960, meskipun analisis ilmiah maupun data-datanya masih terbatas.

Perubahan temperatur rerata harian merupakan indikator paling umum perubahan iklim. Ke depan, UK Met Office memproyeksikan peningkatan temperatur secara umum di Indonesia berada pada kisaran 20 C – 2,50 C pada tahun 2100 berdasarkan skenario emisi A1B–nya IPCC, yaitu penggunaan energi secara seimbang antara energi non-fosil dan fosil (UK Met Office, 2011). Data historis mengonfirmasi skenario tersebut, misalnya kenaikan temperatur linier berkisar 2,60 C per seratus tahun untuk wilayah Malang (Jawa Timur) berdasarkan analisis data 25 tahun terakhir (KLH, 2012).

Peningkatan temperatur rerata harian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap pola curah hujan yang umumnya ditentukan sirkulasi monsun Asia dan Australia. Dengan sirkulasi monsun, Indonesia memiliki dua musim utama yang berubah setiap setengah tahun sekali (musim penghujan dan kemarau). Perubahan temperatur rerata harian juga dapat mempengaruhi terjadinya perubahan pola curah hujan secara ekstrem.

UK Met Office lebih lanjut mencatat kekeringan maupun banjir parah sepanjang 1997 hingga 2009. Analisis data satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) dalam ICCSR (Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap; Bappenas, 2010) untuk periode 2003-2008 memperlihatkan peningkatan peluang kejadian curah hujan dengan intensitas ekstrem, terutama di wilayah Indonesia bagian barat (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) serta Papua. Salah satu fenomena yang mengonfirmasi terjadinya peningkatan temperatur di Indonesia adalah melelehnya es di Puncak Jayawijaya, Papua.

Di samping mengakibatkan kekeringan atau banjir ekstrem, peningkatan temperatur permukaan atmosfer juga menyebabkan terjadinya peningkatan temperatur air laut yang berujung pada ekspansi volum air laut dan mencairnya glestser serta es pada kutub. Pada tahap selanjutnya, tinggi muka air laut mengalami kenaikan yang berisiko terhadap penurunan kualitas kehidupan di pesisir pantai.

Kenaikan rerata tinggi muka laut pada abad ke-20 tercatat sebesar 1,7 mm per tahun secara global, namun kenaikan tersebut tidak terjadi secara seragam. Bagi Indonesia yang diapit oleh Samudera Hindia dan Pasifik, kenaikan tinggi muka laut yang tidak seragam dapat berpengaruh pada pola arus laut. Selain perubahan terhadap pola arus, kenaikan tinggi muka laut yang tidak seragam juga meningkatkan potensi terjadinya erosi, perubahan garis pantai, mereduksi wetland (lahan basah) di sepanjang pantai, dan meningkatkan laju intrusi air laut terhadap aquifer daerah pantai.

Dampak yang ditimbulkan diantaranya adalah sebagai berikut.

Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan.  Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.

Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara
Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah :

(a)  gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada  wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang [i][i]hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional,[1][2] dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. 
1.    Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.[2][3]
2.    Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang

2.6  iklim global terhadap dinamika laut dan pantai

Perubahan iklim global sebagai implikasi dari pemanasan global telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan permukaan bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya gas-gas rumah kaca yang dominan ditimbulkan oleh industri-industri. Gas-gas rumah kaca yang meningkat ini menimbulkan efek pemantulan dan penyerapan terhadap gelombang panjang yang bersifat panas (inframerah) yang diemisikan oleh permukaan bumi kembali ke permukaan bumi (Susandi, dkk., 2008).

Laju perubahan iklim yang cepat melalui pemanasan global merupakan masalah yang cukup serius dihadapi oleh mahluk hidup. Dalam menghadapi hal itu diperlukan adaptasi, antara lain melalui migrasi yang merupakan mekanisme homeostatis mahluk hidup. Pemanasan global akibat perubahan iklim selain menaikkan permukaan air laut akibat pemuaian volume air dan pencairan salju, juga menaikkan suhu air laut. Hal itu akan berpengaruh terhadap interaksi laut dan atmosfer, yang selanjutnya akan mempengaruhi perubahan iklim. Perbedaan temperatur antara udara diatas daratan dan lautan menimbulkan angin sepanjang garis pantai yang kuat. Sedangkan perbedaan temperatur air laut dan di dasar laut akan menimbulkan arus keatas (upwelling). Bila hal ini terjadi dengan intensitas yang tinggi diduga akan menambah frekuensi peristiwa siklon tropis yang disertai perluasan wilayahnya. Suhu permukaan air laut yang tinggi kemungkinan meningkatkan terjadinya El-Nino yang mengakibatkan cuaca buruk dan mengganggu sirkulasi laut (Wibowo, 1996).

Adanya perubahan iklim tentu tidak bisa dianggap sebagai masalah kecil jika kita berbicara tentang pembangunan kelautan. Karena hal ini akan berdampak terhadap terganggunya pola kesimbangan alam, sehingga memaksa manusia untuk melakukan proses mitigasi dan adaptasi terhadap dampak yang akan ditimbulkannya di kemudian hari.
Dalam kaitan dengan pentingnya memahami aspek kimia laut adalah bisa mengetahui dimana seharusnya memposisikan laut dalam perubahan iklim akibat pemanasan global. Meskipun pemahaman tentang mekanisme dan jumlah karbon yang terlibat dalam pertukaran karbon antara laut dan atmosfer masih sedikit, laut telah terbukti sangat penting perannya dalam pengaturan alami tingkat CO2 di atmosfer.
  Dengan semakin meningkatnya CO2 di atmosfer maka akan berdampak buruk bagi ekosistem laut. Salah satu biota yang terkena dampak secara langsung adalah karang. Sedikit penjelasan mengenai hal tersebut adalah laut menyerap 1/3 dari kelebihan CO2 yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Kemudian CO2 bereaksi dengan air laut membentuk asam karbonat menjadi bikarbonat. Reaksi inilah menyebabkan terjadinya penurunan pH air laut dan berkurangnya status kejenuhan aragonit. Pengurangan konsentrasi ion karbonat akan berakibat penurunan kemampuan karang untuk membentuk kerangka kapur. Dan jika hal ini dibiarkan dan tidak ada tindak lanjutnya maka nantinya akan menjadi penghambat kelangsungan pembangunan perikanan secara keseluruhan.

2.7 Dampak Perubahan Iklim pada Laut

Sejak tahun 1980-an yang merupakan puncak produksi penangkapan ikan tertinggi, jumlah tangkapan ikan secara global telah mengalami penurunan (Myers dan Worm, 2003), dimana 25% dari perikanan global telah berkurang secara signifikan (FAO, 2005) dan 90% dari seluruh ikan besar telah sirna (Myers dan Worm, 2003). Semuanya itu, kembali lagi, tidak terlepas dari 4 faktor utama, yaitu penangkapan ikan berlebih (overfishing), polusi (terutama polusi nutrien), hilangnya habitat yang rentan di pesisir, serta perubahan iklim dan pengasaman laut.

Seiring dengan semakin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer bumi, para ahli memperkirakan bahwa akan terjadi pula kenaikan suhu dan muka air laut serta kemungkinan terjadinya perubahan sirkulasi air laut. Mengacu kepada hasil penelitian Levitus et al. (2000) yang menyatakan bahwa kandungan bahang di laut mengalami kenaikan di pertengahan kedua abad ke-20, berdampak pada terjadinya pemutihan terumbu karang (coral bleaching), melelehnya es di Samudera Arktik, dan punahnya beberapa spesies  ikan.

perubahan iklim ternyata telah mengubah dinamika upwelling di pantai. Jika pada tahun 1950-1999 jarang ditemukan adanya hipoksia  dan anoksia (berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut dalam kolom air), maka sejak tahun 2000 hingga 2005 telah terjadi peningkatan jumlah kejadian hipoksia. Bahkan di tahun 2006 ditemukan terjadinya anoksia di inner-shelf.

2.8 Dampak terhadap pantai

Proses dinamis pantai sangat di pengaruhi oleh littoral transport, yang di definisikan sebagai gerak sedimen di daerah dekat pantai (nearshore zone) oleh gelombang dan arus. Littoral transport dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu transport sepanjang pantai (longshore transport) dan transport tegak lurus pantai (onshore-offshore transport). Material (pasir) yang di transport di sebut dengan littoral drift. Transport tegak lurus pantai terutama ditentukan oleh kemiringan gelombang, ukuran sedimen, dan kemiringan pantai. Pada umumnya gelombang engan kemiringan besar menggerakan material kea rah laut, dan gelombang kecil dengan periode panjang menggerakan material kea rah laut.



BAB II
PENUTUP
Dampak perubahan iklim laut merupakan tantangan bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. antara lain :

3.1 Kesimpulan 

1.       Perumusan upaya mengurangi kerentanan kota pantai akibat dampak fenomena perubahan iklim laut, seperti Gelombang Pasang (Tidal Bore), Gelombang Badai (Storm Surge), Alun (swell), Rob (Coastal Inundation), IOD, El Nino/La Nina dan perubahan paras laut memang diperlukan sedini mungkin.
2.       Upaya utama yang patut segera dilakukan adalah menyusun Rencana Strategis Program Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Laut di Indonesia. Indonesia memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km, dengan muara sungai yang cukup banyak dan sekitar 41,6 juta penduduk Indonesia tinggal didaerah dengan ketinggian 10 meter di atas permukaan air laut. Artinya, mereka merupakan penduduk Indonesia yang paling rentan terhadap perubahan permukaan air laut (IIED, 2007). Karena itu, pemetaan daerah rentan dan perhitungan dampak ekonomisnya di Indonesia menjadi sangat mendesak untuk dilakukan.
3.       Identifikasi tingkat kerentanan berbagai unsur ekosistem untuk  berbagai Tipe Pantai baik itu Rona Lingkungan Pantai Alami dan maupun Rona Lingkungan Binaan (Kota/Desa) sangat diperlukan untuk menghadapi dampak perubahan dan variabilitas iklim laut.
4.       Menentukan pengurangan dampak bukan hanya terhadap unsur prasarana dan sarana, dan /atau sumberdaya alamnya, melainkan juga risikonya terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Karena itu, penangannya bukan hanya melakukan pengelolaan dan pemantauan Lingkungan/Sumberdaya Alam di Pantai dan Laut, melainkan juga penanggulangan terhadap Populasi di Kota Pantai, baik sebelum kejadian tiba, maupun selama dan pascakejadian.
5.       Penentuan dampak perubahan dan variabilitas iklim laut di Indonesia harus mempertimbangkan 4 langkah analisis, yaitu zonasi, penentuan tingkat perlindungan, penentuan teknologi perlindungan, dan penentuan biaya perlindungan berdasarkan skenario yang dipilih.



3.1 Saran 

1.       Dampak perubahan iklim laut seperti kenaikan muka air laut, Gelombang Pasang (Tidal Bore), Gelombang Badai (Storm Surge), Alun (swell), Rob (Coastal Inundation), sudah sangat terasa di Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan proporsi penduduk yang sangat besar di wilayah pesisir, sangat penting untuk segera dilakukan observasi dan pemetaan daerah rentan dan perhitungan dampak ekonomis yang akan timbul.
2.       Hasil observasi dan pemetaan daerah rentan dan perhitungan dampak ekonomis akan sangat membantu dalam alokasi dana pembangunan. Dengan demikian, diharapkan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam yang efektif, adil, dan berkelanjutan akan terwujud.



DAFTAR PUSTAKA

http://ketutsupratnye.blogspot.com/2011/11/keadaan-laut-di-indonesia-akibat-dari.html

http://adzriair.blogspot.com/2012/02/perubahan-iklim-pemanasan-global.html















Tidak ada komentar:

Posting Komentar