BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah salah
satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang didunia dibawah Kanada.
Selain itu, Indonesia juga merupakan negara yang memiliki lebih dari 13000
pulau tetapi masih banyak yang belum diberi nama. Anugerah alam yang berupa
laut ini seharusnya dapat membuat Indonesia menjadi negara yang kaya dari hasil
laut.
Di zaman globalisasi seperti ini, dimana penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil baik berupa minyak ataupun batu bara banyak digunakan. Penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil ini tentunya memiliki dampak tersendiri seperti emisi gas buang yang berasal dari asap knalpot kendaraan bermotor maupun asap dari cerobong pabrik. Emisi ini terdiri dari bahan-bahan/unsur- unsur yang berbahaya seperti timbal (Pb), karbon diooksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan Sulfur (S). Secara khusus akan dibahas mengenai dampak CO2 terhadap laut di Indonesia. Karbondiooksida atau CO2 merupakan gas efek rumah kaca yang memiliki daya rusak cukup kuat terutama untuk membuat lapisan dari ozon berkurang. Lapisan ozon yang semakin tipis ini membuat sinar ultraviolet dapat dengan mudah tembus ke permukaan bumi. Ini membuat suhu bumi semakin lama semakin meningkat dan menyebabkan gunung-gunung es di kutub mencair akibatnya, terjadi kenaikan permukaan air laut. Kenaikan muka laut sejak 1984 diketahui terutama disebabkan oleh meningkatnya suhu global akibat meningkatnya kadar CO2 dan gas lain di atmosfer. Fenomena naiknya muka laut dipengaruhi secara dominan oleh pemuaian termal sehingga volume air laut bertambah. Perkiraan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan, jika suhu rata-rata permukaan bumi naik 1°-3,5°C pada tahun 2100, permukaan air laut naik antara 15-95 sentimeter. Dengan tingkat kenaikan 1 cm per tahun, pada 2050 kenaikannya mencapai 40 cm.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan mayoritas populasinya tersebar di sekitar wilayah pesisir. Kemungkinan dampak negatif yang dapat dirasakan langsung dari fenomena kenaikan muka laut di antaranya erosi garis pantai, penggenangan wilayah daratan, meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, meningkatnya dampak badai di daerah pesisir, salinisasi lapisan akuifer dan kerusakan ekosistem wilayah pesisir.Meskipun demikian, sampai saat ini karakteristik serta perilaku dari fenomena naiknya muka laut di wilayah regional perairan Indonesia belum dipahami secara baik dan komprehensif. Dengan demikian, perilaku kedudukan muka laut, baik variasi temporal maupun spasialnya, di wilayah Indonesia merupakan salah satu informasi penting yang diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan suatu wilayah secara berkelanjutan. Berdasarkan pemantauan satelit altimetri (Topex/Poseidon ) tersebut, selama 10 tahun di wilayah perairan Indonesia terlihat indikasi kenaikan muka laut dengan magnitude sekitar 8 mm per tahun. Berdasarkan data terakhir dengan satelit Jason, ditemukan bahwa kenaikan rata-rata di Indonesia 5 mm-1 cm per tahun. Tinggi rendahnya kenaikan dipengaruhi topografi dan pola arus laut. Dilihat berdasarkan kawasan, kenaikan muka laut relatif lebih besar di kawasan timur Indonesia. Penelitian yang dilakukan Hasanuddin Z Abidin, Ketua Kelompok Keilmuan Geodesi ITB, menunjukkan terjadinya penurunan sekitar 12 cm per tahun. Hal ini yang akan memperbesar dampak daerah yang terlanda banjir saat musim hujan di daerah pantai Jakarta. Oleh karena akan banyak dampak yang ditimbulkan dari kenaikan muka air laut, maka dari itu kenaikan permukaan air laut ini sedini mungkin harus kita tanggapi dengan serius agar dampak yang ditimbulkan dari kenaikan permukaan air laut ini tidak ‘parah’ dan menyebar ke bagian-bagian yang lainnya.
Di zaman globalisasi seperti ini, dimana penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil baik berupa minyak ataupun batu bara banyak digunakan. Penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil ini tentunya memiliki dampak tersendiri seperti emisi gas buang yang berasal dari asap knalpot kendaraan bermotor maupun asap dari cerobong pabrik. Emisi ini terdiri dari bahan-bahan/unsur- unsur yang berbahaya seperti timbal (Pb), karbon diooksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan Sulfur (S). Secara khusus akan dibahas mengenai dampak CO2 terhadap laut di Indonesia. Karbondiooksida atau CO2 merupakan gas efek rumah kaca yang memiliki daya rusak cukup kuat terutama untuk membuat lapisan dari ozon berkurang. Lapisan ozon yang semakin tipis ini membuat sinar ultraviolet dapat dengan mudah tembus ke permukaan bumi. Ini membuat suhu bumi semakin lama semakin meningkat dan menyebabkan gunung-gunung es di kutub mencair akibatnya, terjadi kenaikan permukaan air laut. Kenaikan muka laut sejak 1984 diketahui terutama disebabkan oleh meningkatnya suhu global akibat meningkatnya kadar CO2 dan gas lain di atmosfer. Fenomena naiknya muka laut dipengaruhi secara dominan oleh pemuaian termal sehingga volume air laut bertambah. Perkiraan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan, jika suhu rata-rata permukaan bumi naik 1°-3,5°C pada tahun 2100, permukaan air laut naik antara 15-95 sentimeter. Dengan tingkat kenaikan 1 cm per tahun, pada 2050 kenaikannya mencapai 40 cm.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan mayoritas populasinya tersebar di sekitar wilayah pesisir. Kemungkinan dampak negatif yang dapat dirasakan langsung dari fenomena kenaikan muka laut di antaranya erosi garis pantai, penggenangan wilayah daratan, meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, meningkatnya dampak badai di daerah pesisir, salinisasi lapisan akuifer dan kerusakan ekosistem wilayah pesisir.Meskipun demikian, sampai saat ini karakteristik serta perilaku dari fenomena naiknya muka laut di wilayah regional perairan Indonesia belum dipahami secara baik dan komprehensif. Dengan demikian, perilaku kedudukan muka laut, baik variasi temporal maupun spasialnya, di wilayah Indonesia merupakan salah satu informasi penting yang diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan suatu wilayah secara berkelanjutan. Berdasarkan pemantauan satelit altimetri (Topex/Poseidon ) tersebut, selama 10 tahun di wilayah perairan Indonesia terlihat indikasi kenaikan muka laut dengan magnitude sekitar 8 mm per tahun. Berdasarkan data terakhir dengan satelit Jason, ditemukan bahwa kenaikan rata-rata di Indonesia 5 mm-1 cm per tahun. Tinggi rendahnya kenaikan dipengaruhi topografi dan pola arus laut. Dilihat berdasarkan kawasan, kenaikan muka laut relatif lebih besar di kawasan timur Indonesia. Penelitian yang dilakukan Hasanuddin Z Abidin, Ketua Kelompok Keilmuan Geodesi ITB, menunjukkan terjadinya penurunan sekitar 12 cm per tahun. Hal ini yang akan memperbesar dampak daerah yang terlanda banjir saat musim hujan di daerah pantai Jakarta. Oleh karena akan banyak dampak yang ditimbulkan dari kenaikan muka air laut, maka dari itu kenaikan permukaan air laut ini sedini mungkin harus kita tanggapi dengan serius agar dampak yang ditimbulkan dari kenaikan permukaan air laut ini tidak ‘parah’ dan menyebar ke bagian-bagian yang lainnya.
1.2 Rumusan
masalah
a.
Proses terjadinya naik muka ir laut
b.
Dampak yang di timbulkan dari naiknya muka
air laut
c.
Gejala – gejala yang di timbukan dari
iklim global
d.
Strategiapayangsesuaiuntukmenanggulangidampakperubahangarispantaisebagaiakibatkenaikanmukaairlaut
1.3 Tujuan
a.
Meganalisa dampak yang terjadi akibat
naiknya muka air laut
b.
Upaya untuk mengatasi naiknya muka air
laut
c.
Mengetahui perubahan garis pantai yang
terjadi di kawasan pesisir indonesia
d.
Membatasi penggunaan emisi – emisi gas
bumi
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
proses terjadi naiknya massa muka air laut
Kenaikan permukaan laut (Bahasa Inggris: sea level rise)
adalah fenomena naiknya permukaan laut
yang disebabkan oleh banyak faktor yang kompleks.Permukaan laut telah mengalami
kenaikan setinggi 120 meter sejak puncak zaman es 18.000 tahun
yang lalu. Kenaikan tertinggi muka air laut terjadi sebelum 6.000 tahun yang
lalu. Sejak 3.000 tahun yang lalu hingga awal abad ke-19, muka air laut hampir tetap
hanya bertambah 0,1 hingga 0,2 mm/tahun; sejak tahun 1900, permukaan laut naik
1 hingga 3 mm/tahun; sejak tahun 1992 satelit altimetri TOPEX/Poseidon
mengindikasikan laju kenaikan muka laut sebesar 3 mm/tahun. Perubahan ini bisa
jadi merupakan pertanda awal dari efek pemanasan global terhadap kenaikan muka
air laut. Pemanasan global diperkirakan memberikan pengaruh yang signifikan
pada kenaikan muka air laut pada abad ke-20 ini.
2.2
Kenaikan Muka Air Laut / Sea Level Rise
Kenaikan
muka air laut yang sering disebut dengan sea level rise (SLR) merupakan
peningkatan volume air laut yang disebabkan oleh faktor-faktor kompleks. Sea
level rise asal mulanya merupakan rangkaian proses pasang surut air laut.
Namun, saat ini semakin tingginya muka air laut bukan lagi hanya karena proses
dari pasang surut air laut, tetapi juga pengaruh dari perubahan iklim global.
Permukaan laut telah mengalami
kenaikan setinggi 120 meter sejak puncak zaman es 18.000 tahun yang lalu.
Kenaikan tertinggi muka air laut terjadi sebelum 6.000 tahun yang lalu. Sejak
3.000 tahun yang lalu hingga awal abad ke-19, muka air laut hampir tetap hanya
bertambah 0,1 hingga 0,2 mm/tahun, kemudian dari tahun 1900, permukaan laut
naik 1 hingga 3 mm/tahun dan tahun 1992 satelit altimetri TOPEX/Poseidon
mengindikasikan laju kenaikan muka laut sebesar 3 mm/tahun. Tinggi muka laut
diseluruh dunia telah meningkat 10-25 cm selama abad 20. Apabila separuh es di
Greenland dan Antartika meleleh maka terjadi kenaikan permukaan air laut di
dunia rata-rata setinggi 6-7 meter.
Muka laut rata-rata lokal (local mean sea
level atau disingkat LMSL) didefinisikan sebagai tinggi laut terhadap titik
acu (benchmark) di darat, dirata-ratakan terhadap suatu periode waktu
tertentu yang cukup panjang, sebulan atau setahun, sehingga fluktuasi akibat
gelombang dan pasang surut sebisa mungkin dapat dihilangkan. Kita juga harus menyesuaikan
perubahan LMSL yang diketahui untuk memasukkan pergerakan vertikal daratan yang
bisa jadi memiliki orde yang sama dengan orde perubahan muka air laut
(mm/tahun). Pergerakan daratan terjadi karena penyesuaian isostatik mantel akibat
melelehnya lempengan es di akhir zaman es terakhir. Tekanan atmosferik (efek inversi
barometrik), arus laut, dan perubahan temperatur air laut setempat semua dapat
memengaruhi LMSL.
Gambar : Muka Laut
Rerata Perairan Indonesia dari data satelit T/P selama 6 tahun
Gambar : Peta Hilangnya Lahan di Indonesia akibat naiknya massa air laut
Dari
gambar diketahui bahwa rata-rata kenaikan muka air laut tertinggi terjadi di
wilayah Indonesia bagian timur. Pulau Papua, Sulawesi dan sebagian Kalimantan.
Warna hijau menyatakan tinggi kenaikan muka air laut setinggi 5-8 mm/tahun.
Sedangkan wilayah Indonesia bagian barat kebanyakan berwarna biru Warna biru
mengindikasikan kenaikan muka air laut setinggi 0-4 mm/tahun.
Wilayah
yang berwarna merah adalah wilayah yang tertutup oleh air. Tahun 2010 kenaikan
muka laut 0,4 m menghilangkan 7,408 km2. Diperkirakan pada tahun 2050 kenaikan
muka air lau akan sampai 0,56 m dan menutup permukaan lahan hingga 30,120 km2.
Daftar Kenaikan muka air laut kota-kota di Indonesia
Tabel
2 Kenaikan Muka Air Laut di Indonesia (mm/tahun) Lokasi
|
Kenaikan
muka air laut (mm/tahun)
|
Sumber
|
|
Cilacap
|
1,30
|
Hadikusuma,
1993
|
|
Belawan
|
7,83
|
Itb,
1990
|
|
Jakarta
|
4,38
|
Itb,
1990
|
|
Data
tahun 1984-2006
|
|||
2.3
Komponen Sea Level Rise
Perubahan muka air laut lokal pada
setiap lokasi pesisir tergantung pada jumlah factor secara global, regional,
dan lokal yang selanjutnya disebut sebagai kenaikan muka air laut relatif
(Nichollsdan Leatherman, 1996; Nicholls, 2002a). Oleh karena iturata-rata
kenaikan muka air laut global tidak diterjemahkan ke dalam kenaikan muka air
laut yang seragam di seluruh dunia. Kenaikan muka air laut relative di suatu
daerah dapat berubah untuk alas an tertentu dan jangkawaktu tertentu. Selama
selang waktu utama pengamatan manusia terhadap kenaikan muka air laut (yaitu
sekitar 102 sampai 103 tahun), kenaikan muka air laut relative merupakan
penggabungan dari komponen-komponen berikut (Church et al., 2001):
2.4
Kenaikan muka air laut global
yang
merupakan dampak dari peningkatan volume laut. Pada abad 20-21, kenaikan ini
terutama disebabkan oleh ekspansi termal dari laut bagian atas, seperti
menghangatnya suhu laut dan mencairnya bagian atas dari gunung es karena
pemanasan global akibat ulah manusia (Church et al.,2001).

seperti variasi pada efek kenaikan suhu, perubahan jangka
panjang pada angin dan tekanan atmosfir, serta perubahan pada sirkulasi samudra
seperti arus teluk (e.g. Gregory, 1993).

(patahan/pergerakan ke atas) yang berkaitan dengan keragaman
proses geologi seperti tektonik, neotektonik, glacial-isostatis adjustment
(GIA), dan konsolidasi atau penggabungan (Emery dan Aubrey, 1991).
2.5
Dampak yang Ditimbulkan
Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia
umumnya ditandai adanya perubahan temperatur rerata harian, pola curah hujan,
tinggi muka laut, dan variabilitas iklim (misalnya El Niño dan La Niña, Indian
Dipole, dan sebagainya). Perubahan ini memberi dampak serius terhadap berbagai
sektor di Indonesia, misalnya kesehatan, pertanian, perekonomian, dan
lain-lain.
Beberapa studi institusi, baik dari dalam
maupun luar negeri menunjukkan bahwa iklim di Indonesia mengalami perubahan
sejak tahun 1960, meskipun analisis ilmiah maupun data-datanya masih terbatas.
Perubahan temperatur rerata harian merupakan
indikator paling umum perubahan iklim. Ke depan, UK Met Office memproyeksikan
peningkatan temperatur secara umum di Indonesia berada pada kisaran 20 C – 2,50
C pada tahun 2100 berdasarkan skenario emisi A1B–nya IPCC, yaitu penggunaan
energi secara seimbang antara energi non-fosil dan fosil (UK Met Office, 2011).
Data historis mengonfirmasi skenario tersebut, misalnya kenaikan temperatur linier
berkisar 2,60 C per seratus tahun untuk wilayah Malang (Jawa Timur) berdasarkan
analisis data 25 tahun terakhir (KLH, 2012).
Peningkatan temperatur rerata harian tersebut
berpengaruh secara signifikan terhadap pola curah hujan yang umumnya ditentukan
sirkulasi monsun Asia dan Australia. Dengan sirkulasi monsun, Indonesia
memiliki dua musim utama yang berubah setiap setengah tahun sekali (musim
penghujan dan kemarau). Perubahan temperatur rerata harian juga dapat
mempengaruhi terjadinya perubahan pola curah hujan secara ekstrem.
UK Met Office lebih lanjut mencatat kekeringan
maupun banjir parah sepanjang 1997 hingga 2009. Analisis data satelit TRMM
(Tropical Rainfall Measuring Mission) dalam ICCSR (Indonesian Climate Change
Sectoral Roadmap; Bappenas, 2010) untuk periode 2003-2008 memperlihatkan
peningkatan peluang kejadian curah hujan dengan intensitas ekstrem, terutama di
wilayah Indonesia bagian barat (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) serta Papua.
Salah satu fenomena yang mengonfirmasi terjadinya peningkatan temperatur di
Indonesia adalah melelehnya es di Puncak Jayawijaya, Papua.
Di samping mengakibatkan kekeringan atau
banjir ekstrem, peningkatan temperatur permukaan atmosfer juga menyebabkan
terjadinya peningkatan temperatur air laut yang berujung pada ekspansi volum
air laut dan mencairnya glestser serta es pada kutub. Pada tahap selanjutnya,
tinggi muka air laut mengalami kenaikan yang berisiko terhadap penurunan
kualitas kehidupan di pesisir pantai.
Kenaikan rerata tinggi muka laut pada abad
ke-20 tercatat sebesar 1,7 mm per tahun secara global, namun kenaikan tersebut
tidak terjadi secara seragam. Bagi Indonesia yang diapit oleh Samudera Hindia
dan Pasifik, kenaikan tinggi muka laut yang tidak seragam dapat berpengaruh
pada pola arus laut. Selain perubahan terhadap pola arus, kenaikan tinggi muka
laut yang tidak seragam juga meningkatkan potensi terjadinya erosi, perubahan
garis pantai, mereduksi wetland (lahan basah) di sepanjang pantai, dan
meningkatkan laju intrusi air laut terhadap aquifer daerah pantai.
Dampak
yang ditimbulkan diantaranya adalah sebagai berikut.
Kenaikan
muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir
juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja
kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan.
Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari
5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga
2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi
penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula.
Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi
pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran
dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona
budidaya aquaculture pun akan
terancam dengan sendirinya.
Meluasnya
intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga
dipicu oleh terjadinya land subsidence
akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan
pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari
luas wilayah Jakarta Utara
Gangguan terhadap kondisi
sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah :
(a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan
kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap
permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur,
Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot
pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau,
kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307
juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan
keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang [i][i]hanya berkisar
4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional,[1][2] dan (d)
penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS
Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada
pangan di Indonesia.
1. Terancam
berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang
dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air
laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada
akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.[2][3]
2. Bagi
Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan
pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran
maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental
Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak
kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat
pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni
antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil
langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi
lindung – akan menyebabkan run-off
yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada
wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang
2.6
iklim global terhadap dinamika laut dan
pantai
Perubahan iklim global sebagai implikasi dari
pemanasan global telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah
terutama yang dekat dengan permukaan bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh
meningkatnya gas-gas rumah kaca yang dominan ditimbulkan oleh
industri-industri. Gas-gas rumah kaca yang meningkat ini menimbulkan efek
pemantulan dan penyerapan terhadap gelombang panjang yang bersifat panas
(inframerah) yang diemisikan oleh permukaan bumi kembali ke permukaan bumi
(Susandi, dkk., 2008).
Laju
perubahan iklim yang cepat melalui pemanasan global merupakan masalah yang
cukup serius dihadapi oleh mahluk hidup. Dalam menghadapi hal itu diperlukan
adaptasi, antara lain melalui migrasi yang merupakan mekanisme homeostatis
mahluk hidup. Pemanasan global akibat perubahan iklim selain menaikkan
permukaan air laut akibat pemuaian volume air dan pencairan salju, juga
menaikkan suhu air laut. Hal itu akan berpengaruh terhadap interaksi laut dan
atmosfer, yang selanjutnya akan mempengaruhi perubahan iklim. Perbedaan
temperatur antara udara diatas daratan dan lautan menimbulkan angin sepanjang
garis pantai yang kuat. Sedangkan perbedaan temperatur air laut dan di dasar
laut akan menimbulkan arus keatas (upwelling). Bila hal ini terjadi dengan
intensitas yang tinggi diduga akan menambah frekuensi peristiwa siklon tropis
yang disertai perluasan wilayahnya. Suhu permukaan air laut yang tinggi
kemungkinan meningkatkan terjadinya El-Nino yang mengakibatkan cuaca buruk dan
mengganggu sirkulasi laut (Wibowo, 1996).
Adanya perubahan iklim tentu tidak bisa dianggap sebagai masalah kecil jika
kita berbicara tentang pembangunan kelautan. Karena hal ini akan berdampak
terhadap terganggunya pola kesimbangan alam, sehingga memaksa manusia untuk
melakukan proses mitigasi dan adaptasi terhadap dampak yang akan ditimbulkannya
di kemudian hari.
Dalam kaitan dengan pentingnya memahami
aspek kimia laut adalah bisa mengetahui dimana seharusnya memposisikan laut
dalam perubahan iklim akibat pemanasan global. Meskipun pemahaman tentang
mekanisme dan jumlah karbon yang terlibat dalam pertukaran karbon antara laut
dan atmosfer masih sedikit, laut telah terbukti sangat penting perannya dalam
pengaturan alami tingkat CO2 di atmosfer.
Dengan semakin meningkatnya CO2 di atmosfer maka akan berdampak
buruk bagi ekosistem laut. Salah satu biota yang terkena dampak secara langsung
adalah karang. Sedikit penjelasan mengenai hal tersebut adalah laut menyerap
1/3 dari kelebihan CO2 yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Kemudian
CO2 bereaksi dengan air laut membentuk asam karbonat menjadi
bikarbonat. Reaksi inilah menyebabkan terjadinya penurunan pH air laut dan
berkurangnya status kejenuhan aragonit. Pengurangan konsentrasi ion karbonat akan berakibat
penurunan kemampuan karang untuk membentuk kerangka kapur. Dan jika hal ini
dibiarkan dan tidak ada tindak lanjutnya maka nantinya akan menjadi penghambat
kelangsungan pembangunan perikanan secara keseluruhan.
2.7 Dampak Perubahan Iklim pada Laut
Sejak
tahun 1980-an yang merupakan puncak produksi penangkapan ikan tertinggi, jumlah
tangkapan ikan secara global telah mengalami penurunan (Myers dan Worm, 2003),
dimana 25% dari perikanan global telah berkurang secara signifikan (FAO, 2005)
dan 90% dari seluruh ikan besar telah sirna (Myers dan Worm, 2003). Semuanya
itu, kembali lagi, tidak terlepas dari 4 faktor utama, yaitu penangkapan ikan
berlebih (overfishing), polusi (terutama polusi nutrien), hilangnya habitat
yang rentan di pesisir, serta perubahan iklim dan pengasaman laut.
Seiring
dengan semakin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer bumi, para ahli
memperkirakan bahwa akan terjadi pula kenaikan suhu dan muka air laut serta
kemungkinan terjadinya perubahan sirkulasi air laut. Mengacu kepada hasil
penelitian Levitus et al. (2000) yang menyatakan bahwa kandungan bahang
di laut mengalami kenaikan di pertengahan kedua abad ke-20, berdampak pada
terjadinya pemutihan terumbu karang (coral bleaching), melelehnya es di
Samudera Arktik, dan punahnya beberapa spesies ikan.
perubahan
iklim ternyata telah mengubah dinamika upwelling di pantai. Jika pada
tahun 1950-1999 jarang ditemukan adanya hipoksia dan
anoksia (berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut dalam kolom air), maka
sejak tahun 2000 hingga 2005 telah terjadi peningkatan jumlah kejadian
hipoksia. Bahkan di tahun 2006 ditemukan terjadinya anoksia di inner-shelf.
2.8
Dampak terhadap pantai
Proses dinamis pantai sangat di
pengaruhi oleh littoral transport,
yang di definisikan sebagai gerak sedimen di daerah dekat pantai (nearshore zone) oleh gelombang dan arus.
Littoral transport dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu transport sepanjang pantai (longshore transport) dan transport tegak lurus pantai (onshore-offshore transport). Material
(pasir) yang di transport di sebut dengan littoral
drift. Transport tegak lurus pantai terutama ditentukan oleh kemiringan
gelombang, ukuran sedimen, dan kemiringan pantai. Pada umumnya gelombang engan
kemiringan besar menggerakan material kea rah laut, dan gelombang kecil dengan
periode panjang menggerakan material kea rah laut.
BAB II
PENUTUP
Dampak perubahan iklim laut merupakan tantangan bagi
Indonesia sebagai negara kepulauan. antara lain :
3.1 Kesimpulan
1.
Perumusan upaya mengurangi kerentanan kota pantai akibat dampak fenomena
perubahan iklim laut, seperti Gelombang Pasang (Tidal Bore), Gelombang
Badai (Storm Surge), Alun (swell), Rob (Coastal
Inundation), IOD, El Nino/La Nina dan perubahan paras laut memang
diperlukan sedini mungkin.
2. Upaya utama yang patut segera dilakukan
adalah menyusun Rencana Strategis Program Mitigasi dan Adaptasi
Perubahan Iklim Laut di Indonesia. Indonesia memiliki panjang pantai
sekitar 81.000 km, dengan muara sungai yang cukup banyak dan sekitar 41,6 juta
penduduk Indonesia tinggal didaerah dengan ketinggian 10 meter di atas
permukaan air laut. Artinya, mereka merupakan penduduk Indonesia yang paling
rentan terhadap perubahan permukaan air laut (IIED, 2007). Karena itu, pemetaan
daerah rentan dan perhitungan dampak ekonomisnya di Indonesia menjadi sangat
mendesak untuk dilakukan.
3.
Identifikasi tingkat kerentanan berbagai unsur ekosistem untuk berbagai
Tipe Pantai baik itu Rona Lingkungan Pantai Alami dan maupun Rona Lingkungan
Binaan (Kota/Desa) sangat diperlukan untuk menghadapi dampak perubahan
dan variabilitas iklim laut.
4.
Menentukan pengurangan dampak bukan hanya terhadap unsur prasarana dan sarana,
dan /atau sumberdaya alamnya, melainkan juga risikonya terhadap kesehatan dan
jiwa manusia. Karena itu, penangannya bukan hanya melakukan pengelolaan dan
pemantauan Lingkungan/Sumberdaya Alam di Pantai dan Laut, melainkan juga
penanggulangan terhadap Populasi di Kota Pantai, baik sebelum kejadian tiba,
maupun selama dan pascakejadian.
5.
Penentuan dampak perubahan dan variabilitas iklim laut di Indonesia harus
mempertimbangkan 4 langkah analisis, yaitu zonasi, penentuan tingkat
perlindungan, penentuan teknologi perlindungan, dan penentuan biaya
perlindungan berdasarkan skenario yang dipilih.
3.1 Saran
1.
Dampak perubahan iklim laut seperti kenaikan muka air laut, Gelombang Pasang
(Tidal Bore), Gelombang Badai (Storm Surge), Alun (swell),
Rob (Coastal Inundation), sudah sangat terasa di Indonesia.
Sebagai negara kepulauan dengan proporsi penduduk yang sangat besar di wilayah
pesisir, sangat penting untuk segera dilakukan observasi dan pemetaan daerah
rentan dan perhitungan dampak ekonomis yang akan timbul.
2.
Hasil observasi dan pemetaan daerah rentan dan perhitungan dampak ekonomis akan
sangat membantu dalam alokasi dana pembangunan. Dengan demikian, diharapkan
pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam yang efektif, adil, dan berkelanjutan
akan terwujud.
DAFTAR
PUSTAKA
http://ketutsupratnye.blogspot.com/2011/11/keadaan-laut-di-indonesia-akibat-dari.html
http://adzriair.blogspot.com/2012/02/perubahan-iklim-pemanasan-global.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar